Powered by Blogger.

Cari di Blog Perpustakaan

Tuesday, January 11, 2011

Asal mula timbulnya kemusyrikan dan keberhalaan

Oleh: Novita Yunan

A.    Pendahuluan
Amat sulit memberikan uraian tentang akar-akar keberhalaan, asal mula penyimpangan akidah ini, serta pertumbuhannya  di kalangan manusia. Apalagi mengingat bahwa persoalan ini bukan hanya terbatas pada satu atau dua bangsa, dan tidak pula dalam satu atau dua bentuk, ataupun satu atau dua daerah. Hal ini tentunya membuat sulitnya mengajukan pendapat yang pasti, tentang perkembanganya.


Keberhalaan (watsaniyah) di kalangan bangsa Arab jahiliyyah misalnya, berbeda dengan keberhalaan di bangsa India. Keberhalaan di kalangan penganut agama Budha berbeda dengan yang dianut oleh agama Hindu. Kepercayaan-kepercayaan dalam agama-agama dan bangsa-bangsa ini, yang berkaitan dengan kemusyrikan, sangat berbeda dengan jauh berdeda, sehingga sulit menggambarkan kadar yang dimiliki bersama oleh masing-masing dari mereka. Suku- suku arab yang telah punah, seperti suku ‘Ad dan Tsamut, umat Nabi- nabi Hud dan Saleh penghuni daerah Madyan dan Saba’, serta umat Nabi- nabi Syu’aib dan Sulaiman, mereka itu hidup di antara para penyembah berhala atau matahari. Kepercayaan- kepercayaan dan cara berpikir mereka banyak disebut dalam Al- Quran al-Karim. Bangsa arab dari keturunan Nabi Ismail, untuk masa- masa tertentu, adalah kaum yang bertauhid dan mengikuti ajaran- ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail (‘alaihimassalam), akan tetapi lama- kelamaan , akibat pergaulan dengan suku- suku penyembah berhala dalam masyarakat Arab Jahiliah, secara berangsur- angsur timbul pula kepercayaan keberhalaan sebagai ganti akidah tauhid.
Demikian itulah keadaan bangsa Arab yang hidup di daerah- daerah tersebut. Sedangkan mereka yang hidup di Makkah dan sekitarnya, pada masa menjelang kedatangan Rasulullah s.a.w, mulai berkenalan dengan keberhalaan melalui seorang bernama ‘Amr bin Luhai, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli sejarah. Pada perjalanannya ke daerah- daerah Syam,’ Amr bertemu dengan orang- orang yang menyembah berhala, lalu ia bertanya kepada mereka tentang perbuatan tersebut:
“Patung- patung apakah ini yang kalian sembah?”
“ini adalah patung- patung yang kami sembah, agar bila kami memohon hujan, patung- patung ini memberikan hujan, dan bila kami mengharapkan pertolongan, patung- patung ini memberikannya kepada kami.”
“Maukah kalian menghadiahkan untukku beberapa darinya? Saya akam membawanya ke negeri Arab, agar mereka juga menyembahnya.”
Demikianlah,’Amr bin Luhia tertarik kepada perbuatan mereka. Ia pulang ke Makkah dengan membawa sebuah patung besar bernama Hubal. Patung itu diletakkan di atas bangunan Ka’bah, kemudian ia mengajak orang- orang lain agar menyembahnya!
Ada riwayat yang menyatakan bahwa pada malam hari peristiwa HUdaibiyah, turun hujan lebat di atas perkemahan kaum Muslimin, sehinggah Rasulullah s.a.w memerintahkan seseorang berseru, “Laksanakanlah salatmu di kemah- kemah kamu masing- masing!” Pada pagi harinya, ketika mengimami salat Subuh bersama mereka, beliau bersabda: “Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh Tuhan-mu?” Mereka menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Dan beliau pun berkata, “Di antara hamba- hambaku di pagi hari ini, ada yang mukmin dan ada pula yang kafir. Siapa di antara mereka berkata, ‘Kami beroleh hujan dengan rahmat dan karunia Allah,’ maka dia itulah yang beriman kepada Allah dan kufur kepada bintang-bintang. Dan siapa di antara mereka berkata,’Kami beroleh hujan dengan bintang (rasi) “anu” dan “anu”, maka dia itulah yang beriman kepada bintang-bintang dan kufur kepada-Ku’.”
Kedua nash histori ini sekaligus menunjukkan bahwa sebagian orang Arab Jahiliah, atau semuanya, adalah musyrikin dalam hal rububiayah, yakni dalam sifat- sifat Allah sebagai Sang Pemelihara dan Pengatur alam semesta. Mereka percaya bahwa turunnya hujan adalah wewenang berhala-berhala (dan bintang-bintang) sehingga kepadanyalah mereka memohon hujan, dan mereka mendakwakan bahwa berhala-berhala itu benar-benar member mereka hujan.
Keterangan di atas amat penting dalam kaitannya dengan uraian-uraian selanjutnya. Oleh sebab itu, seyogianya anda ingat-ingat dn perhatikan baik-baik. Di samping itu beberapa penelitian berpendapat bahwa keberhalaan tumbuh akibat penghormatan dan takzim berlebih-lebihan serta keinginan untuk mengabadikan kenangan terhadap tokoh-tokoh besar. Setiap kali seorang tokoh besar meninggal dunia, mereka memahat patung untuk menghidupkan kenangan kepadanya dn mengabadikan penghormatan kepadanya dalam diri mereka. Namun dengan berlalunya masa dan bergantinya generasi demi generasi, patung- patung ini pada akhirnya berubah menjadi sesembahan, kendatipun pada mulanya tak ada kepercayaan seperti yang menyertai pembuatannya dahulu. Adakalnya tokoh itu adalah seorang kepala keluarga yang, pada masa hidupnya, menikmati penghormatan dan pengagungan cukup besar, sehingga ketika ia mati, keluarganya membuat patung yang menyerupainya, lalu mulai menyembahnya. Pada masyarakat Yunani dan Romawi kuno, kepala keluarga dipuja oleh keluarganya dan bila ia mati, mereka pun menyembah patungnya.
Di museum- museum dunia, kini tersimpan arca-arca dan patung-patung para pemimpin agama dan tokoh-tokoh menonjol yang, pernah di suatu saat, merupakan sesembahan masyarakat sekitar.
Dari dialog Nabi Ibrahim a.s dengan Namrud, pemimpin kaumnya, dapat diketahui dengan jelas bahwa ia ( Namrud) biasa disembah dan dipuka oleh kaumnya. Demikian pula fir’aun di masa Nabi Musa a.s, walaupun ia sendiri disembah oleh kaumnya, namun sementara itu Fir’aun sendiri juga mempunyai patung-patung khusus yang menjadi sesembahannya. Mungkin saja patung-patung itu menggambarkan tokoh-tokoh lama dari nenek moyang Fir’aun.
Dalam Al-qur’an disebutkan :”maka berkatalah pembesar-pembesar kaum Fir’aun (kepada Fir’aun) : apakah kamu akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan dinegeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta Tuhan-tuhanmu?”
Kesimpulannya, arca-arca dan patung-patung ini pada mulanya dibuat demi mengabaikan kenangan para pemimpin agama dan tokoh-tokoh besar. Namun dengan berlalunya masa dan pergantian  generasi-generasi, tujuan ini meyimpang dari asalnya, dan berubahlah patung-patung ini menjadi sesembahan atau sebagai Tuhan-tuhan buatan.

B.     PEMBAHASAN
Batas antara kemusyrikan dan keimanan
Ada sebagian manusia yang percaya bahwa Pencipta alam semesta tak alin adalah Allah SWT. Namun, setelah menciptakan alam semesta ini, Dia menyerahkannya untuk dikelola oleh sebagian makhluk-Nya, atau mereka melakukannya secara otomatis, bahkan tanpa izin dari-Nya, dengan cara merampas manajemennya dari tangan Allah SWT.! Secara insidential kepercayaan-kepercayaan yang mendasar dari kaum musyrik Arab, yang dikatakan oleh Al-Quran, …sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis... dan Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka,… serta yang menyembah berhala, kotor, yang telah mengusir kaum Muslim dari rumah-rumah mereka, tidaklah meyakini bahwa alam semesta ini mempunyai banyak pencipta. Mereka memercayai bahwa pengelolaan alam semesta dilakukan oleh banyak pengelola, seperti para malaikat, yang mereka yakini sebagai anak-anak perempuan Allah Swt. Berhala-berhala dibuat untuk menampilkan anak-anak perempuan tersebut, yang mereka sembah agar bisa lebih dekat kepada malaikat kepada para malaikat pemimpin-pemimpin alam semesta. Mereka bahkan beranggapan bahwa anak-anak perempuan Allah Swt. Tersebut begitu disayangi oleh-Nya sehingga Dia tak pernah menolak satu pun permintaan mereka. Demikianlah, mereka ingin agar anak-anak perempuan tersebut melakukan syafaat bagi mereka di sisi Allah Swt.: … Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah Swt. … dan Dan sungguh, jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab, “Allah Swt.” … Kemusyrikan mereka yaitu dalam rububiyyah dan ibadah. Demikian pula para penyembah berhala pada zaman Nabi Yusuf a.s. Dia tidak bertanya kepada mereka, “Apakah pencipta-pencipta yang bermacam- macam itu lebih baik daripada pencipta tunggal?” Dia bertanya kepada mereka, … manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
Jadi jelaslah bahwa kemusyrikan mereka yaitu dalamrububiyyah. Jika seseorang memercayai bahwa Sang Pencipta adalah Satu, tetapi alam semesta memiliki banyak rabb yang mengatur bagian-bagiannya satu rabb untuk tiap-tiap bagian: untuk bumi, binatang-binatang, daratan-daratan, perairan, dan sebagainya, tetapi mereka semua juga telah diciptakan oleh Allah Swt., apakah orang seperti itu dipandang oleh Islam sebagai monoteis atau seorang musyrik? Tidak salah lagi, dia adalah seorang musyrik. Artinya, tauhid dalam penciptaan saja tidaklah cukup.
Namun, ada orang-orang lain yang percaya bahwa manajer genetik alam semesta adalah Allah Swt., yang menciptakannya, tetapi bahwa, di samping Dia, juga ada orang-orang lain yang mempunyai hak untuk membuat hukum-hukum bagi manusia; dan bahwa menaati mereka sebagaiman menaati Allah Swt. Membuat hukum dan memerintahkan manusia untuk melakukan segala perintah-Nya tersebut.
Ada juga orang-orang lain yang membuat hukum-hukum lain, di samping hukum-hukum Allah Swt., yang juga harus ditaati. Artinya, baik hukum AllahSwt. Maupun hukum ciptaan orang-orang itu haruslah dilaksanakan, dan adalah wajib bagi mereka untuk menaati keduanya. Hal ini adalah kemusyrikan dalam rububiyyah legislatif: mereka telah mengangkat para rabid an pendeta mereka sebagai rabb di samping Allah Swt.
Kaum Yahudi dan Nasrani memercayai bahwa orang-orang besar dalam kuil dan gereja mereka memiliki hak untuk membuat hukum-hukum, atau mengubah hukum Ilahi dan mengesampingkannya, sebagaimana yang sekarang ini dilakukan oleh gereja menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Tampaknya, Al-Quran merujuk kemusyrikan semacam ini ayat yang disebut di atas, mengenai para rabi dan pendeta yang oleh kaum Yahudi dan Nasrani dipandang sebagai rabb-rabb mereka. Apakah mereka benar-benar memercayai bahwa, katakanlah, Paus adalah pencipta alam semesta? Tampaknya tidak ada kepercayaan semacam itu di dalam gereja ataupun di kalangan orang Kristen. Mereka hanya menerima otoristasnya untuk menciptakan hukum-hukum, dan memandang bahwa merupakan kewajiban bagi mereka untuk menaati perintah Allah Swt., meskipun dalam hal ibadah mereka berpendapat bahwa tak seorang pun yang layak disembah kecuali Allah Swt.
Dengan meninjau Al-Quran secara cermat, kita akan menyadari bahwa butir-butir yang disebutkan di atas adalah perlu bagi seseorang untuk bisa dipandang sebagai seoang penganut tauhid. Artinya, seorang penganut tauhid, dalam pandangan Al-Quran, adalah orang yang memandang bahwa sifat mesti dan mencipta, secara eksklusif, terbatas pada Allah Swt. Semata. Demikian pula halnya dengan Rububiyyah Genetik, Rububiyyah Legislatif, dan satu-satunya Ilahi yang harus disembah. Karena meyakini ketuhanan dan Keesaan Allah Swt. Termasuk ke dalam tahap yang terakhir, slogan Islam adalah la ilaha illallah, “tidak ada Tuhan kecuali Allah Swt.”, “Tidak ada Pencipta kecuali Allah Swt.”, atau “Tidak ada Rabb kecuali Allah Swt.”, sebab ketiga pernyataan yang terakhir ini saja tidak cukup. Pernyataan-pernyataan tersebut juga harus mencakup “Tidak ada satu pun yang harus di sembah kecuali Allah Swt.”. jadi, inilah batas tauhid. Keyakinan pada hal ini menjadikan individu sebagai seorang monoteis, ditinjau dari sudut pandangan Islam, sedemikian rupa sehingga ia diterima dan dia dipandang sebagai seorang Muslim, yang layak masuk ke dalam Rumah Kebahagiaan. Satu tahap di bawah ini tidaklah cukup. Namun, bagaimana dengan tahap yang lebih tinggi? Tentu saja itu lebih baik! Manusia harus berusaha mencapainya. Semakin dia maju, semakin sempurna pula dirinya dalam monoteisme. Sesungguhnya, prosesi kesempurnaan manusia terus bergerak menuju tauhid, dan penilaian harkat manusia sesuai dengan kriteria Islam, diukur secara proposianal dengan derajat ketauhidannya.
Dalam kitab Nahj Al-Balaghah karya Imam ‘Ali a.s., kita membaca tentang iblis bahwa dia telah menyembah Allah Swt. Selama enam ribu tahun, tetapi tidak diketahui apakah enam ribu tahun itu dihitung dengan dunia atau akhirat.
Sekarang, marilah kita anggap bahwa iblis telah menyembah kepada Allah Swt. Selama enam ribu tahun, sebelum Adam a.s. diciptakan dan penyembahan selama enam ribu tahun bukanlah hal yang remeh lantas, apa kekurangan iblis? Dia tidak memiliki kepatuhan. Dia seharusnya mematuhi apa yang telah diperintahkan Allah Swt kepadanya. Adalah hak Allah Swt. Untuk dipatuhi tanpa bertanya lagi. Ketika dia menyuruh, suruhannya harus dilaksanakan. Semua wujud merupakan milik-Nya. Menonjolkan diri di hadapan-Nya tidak ada artinya, karena orang harus menerima Rububiyyah legislatif Allah Swt. Dan patuh kepada-Nya tanpa bertanya-tanya lagi. Tak seorangpun yang selain-Nya yang mesti dipatuhi dengan cara begini. Namun, setan berbantah dengan Allah Swt., yang berarti mengatakan kepada Allah Swt., “Perintah-Mu ini tidak relevan (na ‘udzu billah) jika seseorang harus bersujud kepada seorang lainnya, orang yang disebut pertama tentu lebih rendah derajatnya daripada orang yang disebut belakangan sedangkan derajatku lebih tinggi daripada derajat Adam a.s. Adamlah yang harus bersujud kepadaku. Jadi, Engkau telah memberikan perintah yang tidak berdasar. Engkau tidak mempunyai hak untuk menyuruhku bersujud kepada Adam.” Dalam Al-Quran dan kitab-kitab lainnya serta riwayat tradisi, tidak pernah disebutkan bahwa iblis telah melakukan kesalahan, selain kesalahannya ini, yang disebutkan bersama pendahuluan psikologisnya. Inilah penyebab kejatuhan setan dia telah menolak perintah Allah Swt. Alasan dibalik penolakan ini tentu saja adalah kesombongan dan iri hati. Iblis dengki kepada Adam a.s. ini adalah penyebab psikologis. Namun, hal secara praktis menyebabkan kejatuhan setan dalam keputusan Allah Swt., Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmi sampai Hari Pembalasan, dan pada Hari itu akan dikatakan, Sesungguhnya aku pasti akan memenuhi Neraka Jahanam dengan jenis kamu dan orang-orang yang mengikuti kam di antara mereka semuanya. Artinya, pemuka manusia- manusia yang menjadi penghuni neraka adalah iblis, sementara yang lain-lain hanyalah mengikutinya. Allah Swt. Telah bersumpah bahwa dia akan memenuhi neraka dengan setan dan para pengikutnya. Jika kita menganggap bahwa siapa pun yang menerima satu tahap dari tauhid lebih unggul dan terhormat dari pada orang yang tidak menerimanya, iblis tentula jauh lebih tinggi derajatnya daripada orang yang, bahkan, mengingkari adanya Allah Swt seperti orang yang tidak percaya pada satu sembahan pun dan hidup selama beberapa tahun di dunia ini serta barangkali tidak ada satupun kejahatan pun dilakukannya. Namun, iblis, yang telah menyembah Allah Swt. Namun selam enam riu tahun dan beriman pada beberapa segi tauhid, ditempatkan sebagai pemimpin para penghuni neraka. Artinya, dia ditempatkan sebagai para penghuni neraka. Artinya di ditempatkan di lapisan yang paling bawah.
Mungkin iblis mempunyai sekutu. Bahkan, mungkin juga ada setan manusia yang tidak lebih baik. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang akan memperoleh manfaat dari penyembahan apa pun yang telah dilakukannya, karena dia tidak mencapai batas tauhid yang diperlukan, persis seperti campuran yang kekurangan salah satu unsur esensialnya. Campuran ini hanya bisa bermanfaat jika semua unsurnya lengkap. Suatu campuran yang kekurangan salah satu unsur pentingnya bahkan bisa berbahaya. Dalam dunia pengobatan, jika suatu campuran obat tidak mengandung satu unsur khasnya, ia tidak hanya tidak berguna, tetapi bahkan berbahaya. Sama halnya, kumpulan kepercayaan monoteistik (tauhidiah) adalah campuran yang efektif untuk mendatangkan kebahagiaan manusia, dan memasukkannya ke dalam lingkup rahmat Allah Swt., dan surge-Nya. Jika tidak mengandung unsur mana pun dari unsure-unsurnya, ia tidak akan efektif.
Kita thu bahwa, jika seorang Muslim mengingkari ajaran Islam yang bersifat wajib dan disebutkan di dalam Al-Quran, dia dipandang murtad; artinya, dia telah meninggalkan agamanya. Kita ingat bahwa Imam (almarhum Ayatullah Ruhullah Al-Khumaini, Pendiri Republik Islam Iran) beberapa waku lalu mengatakan bahwa barang siapa memandang Undang-Undang Hukum (Islam) sebagai tidak manusiawi, dia menjadi murtad, istrinya menjadi haram baginya. Hukumannya adalah hukuman mati, darahnya halal, dan hartanya akan dibagikan kepada para ahli waris. Mengapa demikian? Apakah dia telah mengingkari adanya Allah Swt., atau menignkari adanya Nabi Muhammad Saw.? Apakah dia mengatakan bahwa Hari Pengadilan itu tidak ada? Tidak. Dia tidak mengingkari satu pun dari semuanya ini. Dia bahkan melaksanakan sholat dan puasa. Dia hanya mengatakan bahwa Undang-Undang Hukuman tersebut tidak manusiawi dan tidak adil. Mengapa dia mesti dipandang murtad? Dia memiliki demikian banyak kepercayaan (Islam) dan banyak mengabdi. Mengapa dia bahkan menjadi lebih rendah derajatnya daripada orang yang mengingkari Allah Swt.? Apakah hal ini disebabkan dia tidak mencapai batas tauhid yang diterima?
Hal ini menunjukan seolah-olah sebagian dari misi Nabi Muhammad Saw. Tidak memadai, atau seolah-olah Nabi Muhammad Saw. Sendiri (na ‘udzu billah) telah menyampaikan pesan Allah Swt. Secara buruk kepada umat manusia, atau Allah Swt. Telah mengungkapkan diri-Nya secara buruk, atau Dia telah membuat hukum-hukum yang buruk. Bagaimanapun, ia merupakan pengingkaran terhadap Pesan Allah Swt. Tersebut ataupun batas tauhid. Orang yang mengakui bahwa Nabi Muhammad Saw. Tidak berbicara menurut kehendaknya sendiri dan percaya pada Pesan Allah Swt., dengan mengajukan keberatan terhadap ucapan-ucapan Nabi Muhammad Saw., berarti elah mengajukan keberatan kepada Allah Swt., misalnya, membuat Undang-Undang Hukuman?
Bukanlah tanpa alasan jika episode tentang setan demikian ditekankan. Kita harus memahaminya. Kita tidak bisa menjadi Muslim kecuali jika tunduk pada perintah-perintah Allah Swt. Jika saya mengatakan, “Saya menerimanya hanya jika memahami bukti-butki aqliyyah-Nya, tetapi saya akan meninggalkannya jika memahaminya,” berarti saya telah mengikuti akal saya. Tentu saja, ajaran-ajaran Islam memiliki bukti-bukti rasionalnya dan mereka berkaitan dengan keburukan dan kebaikan. Namun, adalah berbeda jika saya mengatakan , “Saya tida akan menerimanya kecuali jika tahu kebaikan apa yang terkandung di dalamnya,” dengan mengatakan, “Tidak ada ajaran tanpa arti pentingnya, meskipun saya tidak mengetahuinya.”
Islam berarti “penyerahan diri”, kepasrahan pada kehendah Allah SWT. Jadi, bagaimana mungkin seseorang menjadi muslim, tetapi mempertanyakan perintah-perintah Allah SWT, serta memamerkan opininya sendiri, dan berkata “ajaran ini merupakan suatu penghinaan terhadap harkat wanita, dan ajaran yang demikian ini tidak manusiawi”, itulah sebabnya Imam Khumaini mengatakan bahwa hukuman bagi orang seperti itu adalah hukuman mati. Dia harus dibunuh karena tidak memiliki fondasi Islam di dalam dirinya. Namun ini adalah ketetapan agama yang didukung oleh bukti-bukti tertentu.ajaran ini dijelaskan menurut sudut pandang Islam, karena mengingkari ajaran yang bersifat wajib berarti mengingkari Rububiyyah legislative Illahi. Peerumpamaan tentang orang ini adalah seperti perumpamaan tentang iblis. Jika dia beribadah selama seribu tahun dan membela Islam selama seribu tahun pula, tetapi ia mengingkari satu ajaran wajib yang dinyatakan dalam Al-qur’an, maka membunuhnya merupakan akan menjadi halal, istrinya akan menjadi haram baginya dan hartanya akan dibagikan kepada ahli warisnya, karena harta tersebut tidak lagi menjadi miliknya. Mempertanyakan norma-norma ini tidak bisa diterima dalam Islam.
Islam adalah ketundukan. Jika kadang-kadang direkomendasikan bahwa orang harus teguh dan menonjolkan diri, kebaikan dari sifat seperti itu adalah yang dituntut dihadapan Allah, dihadapan junjungan Rabb-Nya, orang harus rendah hati, tidak berkuasa, tidak berdaya, sopan-santun dan penuh ketundukan.






C.    KRITIK DAN ANALISIS
Disini, seseorang mungkin akan bertanya, apakah masing-masing dari tahap-tahap tauhid diatas merupakan bagian dari kebahagiaan kita dan menjamin satu tahap dari kesemprnaan dan keshalehan kita, atau apakah konsep-konsep monoteistik tersebut seperti campuran ; yang jika mengandung semua unsur, ia akan efektif, dan jika tidak, ia tidak akan efektif, seolah-olah ia tidak ada sama sekali?
Dengan bahasa yang lebih eksplisit: seandainya seseorang menerima tauhid dalam penciptaan, tetapi tidak menerimanya dalam Rububiyyah, ketika orang ini dibandingkan dengan seseorang lainnya yang tidak menerima satu pun dari kedua konsep tauhid ini, dapatkah kita mengatakan bahwa kedua orang ini, dalam hal kesempurnaan dan kesalehan, berada dalam dua tahap yang berbeda, seperti kita mengatakan bahwa si A memperoleh sepuluh derajat dan si B memperoleh dua puluh derajat? Ataukah dengan memperoleh semua tahap tauhid tersebut, orang, sebenarnya, belum memulai proses, dan apakah di sini efek-efeknya muncul, sementara sebelum mencapai tahap ini, tidak aka nada efek sama sekali? Terlintas dalam pikiran orang bahwa tahap-tahap tersebut hampir merupakan serial tahap-tahap, yang masing-masing efektif secara relatif. Artinya, jika mengingkari adanya Allah Swt., bahkan sebagai Wujud yang Mesti, seseorang akan menempati kedudukan yang sangat rendah. Orang yang mengakui bahwa Allah Swt., adalah Wujud yang Mesti telah menemukan sebagian dari kebenaran dan naik satu langkah menuju kesempurnaan. Dia lebih baik daripada orang yang mengingkarinya; dan seterusnya sampai dia menerima tauhid dalam Keutuhan.
Apa jawaban terhadap pertanyaan ini? Al-Quran mengatakan bahwa tidaklah benar orang yang menerima beberapa segi dari tauhid lebih baik daripada orang yang tidak menerima satu pun dari segi-segi tersebut. Artinya, jika hanya menerima empat tahap yang pertamadari tauhid, orang akan di pandang tidak menerima satu pun dari tahap-tahap tersebut suatu kenyataan yang tampakasing bagi kita pada pandangan pertam. Satu contoh eksplisit dari hal ini dalam Al-Quran adalah kekafiran iblis (setan). Bukanlah kepedulian kita di sini untuk membahas, apakah iblis adalah makhluk nyata atau hanya dongeng, atau pakah dia terpisah dari manusia atau merupakan dimensiyang tak terpisahkan darinya. Namun, kita yakin bahwa iblis adalah makhluk tersendiri yang memiliki eksistensi nyata di luar dari manusia, dan yang hidup untuk masa yang sangat lama, yang semuanya ini bukan merupakan kepedulian kita sekarang ini.

D.    SARAN
Pengulangan dan penegasan Al-Quran mengenainya dimaksudkan sebagai pelajaran bagi kita. Apakah iblis percaya pada penciptaan oleh Allah Swt.? Al-Quran mengatakan bahwa ketika Allah Swt. Bertanya kepada iblis menagapa dia tidak bersujud untuk menghormati Adam, dia menjawab, … Saya lebih baik daripada dia, Engkau ciptakan saya dari api, sedangkan dia, Engkau ciptakan dari tanah, mengapa dia harus bersujud kepada Adam a.s.? Dalam percakapan ini, tidak ada pengingkaran terhadap penciptaan oleh Allah Swt. Sebaliknya, percakapan ini menyatakan bahwa Dia adalah Pencipta iblis dan Adam a.s. Iblis mengakui bahwa Allah Swt. Adalah Pencipta alam semesta, termasuk setan dan manusia. Jadi, dia memang percaya pada kekuasaan Allah Swt., untuk mencipta. Namun, bagaimana dengan kepercayaannya para Rububiyyah Allah Swt.? Dia berbicara kepada Allah Swt. Dengan mengatakan, … Ya Rabbi, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka … Allah Swt. Diseru dengan sebutan Rabb, yang berarti bahwa dia juga beriman kepada Rububiyyah Allah Swt. Dia juga percaya pada hari Kebangkitan, sebagaimana dikatakannya … Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tanggulah kepadaku sampai hari (manusia) dibangktkan. Permintaan ini dikemukakannya kepada Allah Swt. Setelah Allah Swt. Mengutuknya karena ketidakpatuhannya. Dia memohon kepada Allah Swt. Agar Allah Swt. Memperpanjang masa hidupnya sampai Hari Kebangkitan agar dia dapat menggoda dan menyesatkan manusia dari jalan yang benar.
Oleh karena itu, jika masing - masing segi dari kepercayaan ini secara individual mencukupi untuk dipandang sebagai kebajikan dan kesempurnaan, niscaya iblis telah memiliki banyak sekali kebajikan dan kesempurnaan, karena dia beriman pada Wujud Allah Swt. Keesaan-Nya, Penciptaan-Nya, Rububiyyah-Nya, dan Kebangkitan.





E.     PENUTUP

Sebagai kesimpulan dari apa yang telah dikemukakan di atas, tauhid berarti menganggap Allah SWT satu, sebagai prinsip Islam. keEsaan-Nya diakui dalam hal-hal berikut :
1.      Dalam kemestian wujud-Nya, dan kemestian ini bersifat ekslusif berkenaan dengan Allah SWT semata;
2.      Dalam penciptaan;
3.      Dalam Rububiyyah genetic, yaitu pengelolaan alam semesta;
4.      Dalam Rububiyyah  legislative, yaitu dalam pembuatan hukum, perintah dan larangan yagn harus dilaksanakan tanpa bertanya-tanya lagi;
5.      Dalam sembahan dan Uluhiyyah, yaitu bahwa tak satupun patut disembah kecuali Allah SWT;

Pada titik ini berarti orang menampilkan konsep La illaha illallah, tidak ada Tuhan selain Allah, yang merupakan tahap pertama Islam, yang tanpanya Islam tidak dipenuhi. Selanjutnya, ada tahap-tahap lain tauhid, yang bisa dicapai dengan pengetahuan dan amal-amal di jalan kesempurnaan. Antara lain: tauhid dalam meminta pertolongan dan mencari sandaran, tauhid dalam ketakutan dan mengharap, tauhid dalam cinta, dan sebagainya.
Wujud yang mandiri hanyalah milik Allah semata, semua urusan adalah dari-Nya. Ini harus menjadi kenyataan yang bersifat visual, bukan sekedar konsep mental yang dicapai dengan penalaran mental dan filosofis. Barang siapa mencapai tahap ini, dia akan menjadi monoteisme sempurna. Orang seperti itu tidak akan mempunyai hubungan yang independen kecuali dengan Allah SWT.

Daftar pustaka
Amsal Bakhtiar MA, Filsafat Agama, cet I, hal : 195-214, Dzulhijjah 1427 H /  April 1997 M, Logos wacana ilmu, 1997, Jakarta.
Musa Asy’arie, Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam berfikir), cet I, Juli 1999, hal : 111-113, Lesfi Yogyakarta.
Yasin T. Al-Jibouri, Konsep Tuhan menurut Islam, cet I, Jumadil akhir 1424 H / Agustus 2003 M, Lentera Jakarta 2003.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah kitab Tauhid, jilid I, Dar Ibnu Al-jausy, Riyadh, Cet 4, 1421, Jakarta.

0 comments:

  © lib.stainmanado is copyright to Djunaidi Lababa 2011

Kembali ke ATAS