Powered by Blogger.

Cari di Blog Perpustakaan

Saturday, January 8, 2011

KAIDAH FIQHIYAH TENTANG ADAT

KAIDAH FIQHIYAH TENTANG ADAT
Oleh: Julkifly Lababa
Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (adat dapat dihukumkan ) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel.


Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf – yang sering disebut dalam Al-Qur’an – diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg).

Fiqih islam meliputi pembahasan yang mengenai individu masyarakat dan negara yang meliputi bidang bidang ibadat, muamalah, kekeluargaan, perikatan kekayaan, warisan kriminil, peradilan acara, pembuktian, kenegaraan dan hukum hukum internasional seperti : perang, damai,  traktat dan sebagainya.
            Oleh karena itu ulama membagi fiqh pada garis besarnya ada dua bagian yaitu :
1. Ibadat
Yaitu hukum hukum yang maksud pokoknya mendekatkan diri kepada Allah.
            Hukum ini telah ditegaskan didalam nash dan berkeadaan tetap, tidak dipengaruhi oleh perkembangan masa dan perlainan tempat dan wajib diikuti dengan tidak perlu menyelidiki makna dan maksudnya.
2.Adat
Yaitu hukum yang ditetapkan untuk menyusun dan mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat atau untuk mewujudkan kemaslahatan dunia. Hukum hukm ini dapat dipahami maknanya dan selalu diperhatikan uruf uruf kemaslahatan dan dapat merubah menurut perubahan masa, tempat dan situasi,oleh karena itu hokum yang mengenai adat ( muamalah ) ini, kebanyakan hukumnya bersifat keseluruhan, berupa kadah kaidah yang umum disertai dengan illatnya.,[1]
Macam Macam Adat
            Penggolongan macam macam adat atau ‘urf dilihat dari beberapa segi,yaitu :
1.Dari segi materi yang biasa dilakukan.Dari segi ini ada dua macam yaitu :
a)      ’Urf qauli, yaitu berlaku dalam penggunaan dalam kata kata ucapan.
b)      ‘Urf fi’li, yitu perbuatan yang berlaku dalam perbuatan.
2.Dari segi ruang lingkup penggunaannya, ‘urf terbagi kepada dua :
a)      ‘Adat atau ‘ urf, yairu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana mana , hampir di seluruh dunia, tanpa memandang bangsa, negara, dan agama.
b)      ‘adat atau ‘urf khusus,yaitu kebiassan yang dilakukan sekelompok orang dadaerah tertentu atau pada waktu tertentu, dan tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu.
3.Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘adat atau ‘urf itu terbagi kepada  :
a)      ‘Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur.
b)      ‘Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku disuatu tempat meskipun merata  pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.[2]


Hukum Adat
            Yang dimaksud dengan hukum adat adalah keputusan yang diambil oleh manusia setelah memperhatikan hal hal biasa atau tidak biasa dalam kebiasaan. Dengan demikian, ketentuan ketentuan semata mata didasarkan.
            Hukum adat ini meliputi tiga bagian :
1.      Wajib : menurut adat kebiasaan adalah suatu perkara yang biasanya mesti terjadi. Contoh, api bersifat membakar.
2.      Mustahil : menurut adat adalah suatu perkara yang tidak lazim atau mustahil menurut kebiasaan. Contoh, api dingin atau es panas.
3.      Mungkin menurut adat kebiasaan. Adalah suatu perkara yang dapat terjadi karena adanya sebab, tetap dapat juga tidak terjadi, contoh, sembuh dari penyakit setelah berobat tetapi kadang kadang tak berobat pun penyakit sembuh. Sebaliknya, kadang kadang setelah berobat penyakit tetap tidak sembuh, Dengan demikian sembuh setelah berobat merupakan perkara yang mungkin ( jaiz ) menurut kebiasaan bukan mustahil dan bukan pula kemestian.[3]

KAIDAH FIQHIYAH TENTANG RUKHSHAH
            Rukhshah secara bahasa adalah keringanan atau kemudahan.Secara istilah rukhshah adalah sebuah hukum tetap yang menyelisihi dalil syar’i dikarenakan ada sebab-sebab yang rajih. Imam Ar-Razi mengatakan : rukhshah adalah sesuatu yang boleh dikerjakan atau dilaksanakan sekalipun pada hukum asalnya perbuatan itu dilarang.
Imam Al-Hindi mengatakan : rukhshah adalah meninggalkan atau mengerjakan sesuatu yang pada hukum asalnya dilarang dikarenakan ada sebab-sebab yang rajih. Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah dalam sunnah-sunnahnya telah memberikan beberapa keringanan kepada kaum muslimin apabila terpenuhi syarat dan sebab-sebabnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat suka apabila keringanan-keringanan yang telah Dia berikan dan tetapkan dijalankan dan dilaknakan oleh umat-Nya.
Dalam literatur ushul, pada umumnya pembahasan rukhsah dan azimah dibicarakan sesudah membahas hukum-hukum wadhi. Namun dalam buku ini kedua pembahasan ini diletakkan langsung sesudah membicarakan hokum taklifi, karena memang baik rukhshah maupun azimah menyangkut pelaksanaan hukum taklifi.[4]
Sikap Umat Islam terhadap rukhshah
Dalam masalah rukhshah kaum muslimin terbagi kepada tiga kelompok.yaitu :
1.      Kelompok yang berlebih-lebihan dalam menyikapi rukhshah. Sehingga, mereka sering meninggalkan yang wajib atau bahkan mengerjakan yang haram karena alasan rukhshah, padahal sebab-sebab dan syarat-syaratnya belum terpenuhi dengan sempurna. Bahkan kelompok ini sering mencari-cari rukhshah, padahal dia bukanlah orang yang berhak untuk mengamalkan rukhshah tersebut. Lebih jelasnya pada akhir bab ini akan kita jelaskan tentang kelompok yang ketiga ini.
2.      Kelompok yang meremehkan rukhshah. Kelompok ini tidak peduli dengan keringanan-keringanan yang telah Allah berikan kepada mereka, sekalipun terpenuhi syarat dan sebab-sebabnya. Menurut mereka, mengambil keringanan adalah bentuk peremehan terhadap agama Allah dan mempermainkannya. Kelompok ini jelas berada dalam kekeliruan yang besar dan nyata.
3.      Kelompok yang berada antara yang berlebih-lebihan dan yang meremehkan. Mereka mengambil keringanan yang telah Allah dan Rasul-Nya berikana sesuai dengan sebab dan syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama.
Contoh Contoh Rukhshah dan Hukumnya
Para ulama menjelaskan, bahwa hukum rukhshah berbeda-beda. Terkadang rukhshah menjadi wajib hukumnya untuk diamalkan. Seperti memakan bangkai atau babi bagi orang yang dalam kondisi darurat tidak mendapatkan makanan. Jika dia tidak memakan bangkai atau daging babi itu dia akan binasa atau mati. Para ulama menjelaskan bahwa mengambil rukhshah ini hukumnya wajib. Contoh lain adalah bahwa menutup aurat hukumnya wajib dan menampakkannya kepada yang bukan mahram adalah haram hukumnya. Tetapi, ketika seseorang ini melakukan operasi (karena penyakit tertentu), dan tim dokter menyatakan bahwa untuk mengobati penyakitnya harus dilakukan tindakan operasi bedah, maka tidak masalah bagi orang tersebut membuka aurat dan memperlihatkannya kepada yang bukan mahramnya jika hal itu terpaksa harus dilaksanakan.
Terkadang rukhshah hukumnya adalah sunnah. Seperti mengqashar shalat (shalat empat rakaat diqashar menjadi dua rakaat) bagi orang yang musafir, atau meninggalkan shaum Ramadhan bagi seorang musafir dan menggantikannya pada hari-hari lain.
Hukum mencari-cari Rukhshah
Sesungguhnya syaitan senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dengan wasilah yang beraneka ragam. Di antara pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithan untuk menusia adalah :”Mencari rukhsah (pendapat paling ringan) dari para fuqaha’ dan mengikuti kesalahan-kesalahan mereka”. Dengan cara ini syaithan menipu banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar, dan hal-hal yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsah yang palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masah-masalah khilafiyah (perselisihan). Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar’i. Bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim, yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.
Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan bolehnya apa yang telah mereka lakukan. Dan bahwa mereka bukanlah yang dimintai pertanggung jawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya, jika benar atau salah. Bahkan mereka mengambil rukhsah dari para fuqaha’ pada suatu permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat para fuqaha itu pada permasalahan yang lain. Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat (menurut hawa nafsu mereka ). Mereka menyangka telah melakukan amalan yang sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya,)
Syaithan telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan :”Letakkanlah dia di leher orang alim, dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat”. (Maksudnya yaitu serahkan tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban ). Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang di antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi kepada sebagian ulama yang tasahul (mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak ) dalam berfatwa, lalu mereka (sebagian ulama yang tasahul, ) mencarikan untuknya rukhsah yang telah difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsah tersebut padahal rukhsah itu menyelesihi dalil dan kebenaran yang telah mereka yakini..
Kebanyakan orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang kedua) mufti yang mencari keridhaan manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.Apakah yang dimaksud dengan rukhsah di sini ?
Yang dimaksud dengan rukhsah di sini adalah pendapat para ulama dalam masalah khilafiyah yang paling ringan (paling enak, -pent) yang tidak bersandar kepada dalil yang shahih. Atau kesalahan seorang alim mujtahid yang kesalahannya tersebut diselisihi oleh para mujtahid yang lain. Dan inilah makna rukhsah menurut bahasa.
            Mengikuti rukhsah para fuqaha’ menimbulkan mafsadah yang banyak. Di antaranya hilangnya kemulian agama (Islam), dan jadilah agama ini permainan ditangan manusia. Di antaranya juga meremehkan hal-hal yang haram dan meremehkan batasan-batasan syari’at.
Imam Asy-Syatibi telah menyebutkan sejumlah kerusakan-kerusakan ini, lalu menyebutkan kerusakan-kerusakan yang lain, dia berkata :”Seperti memisahkan diri dari (ajaran) agama dengan tidak mengikuti dalil beralih mengikuti khilaf (perselisihan), meremehkan agama, meninggalkan apa-apa yang telah diketahui (kebenarannya), rusaknya kaedah politik yang syar’i, yaitu dengan tidak adanya ketegasan amar ma’ruf (sehingga para hakimpun berbuat sewenang-wenang dalam keputusan-keputusan hukum mereka, maka seorang hakim berfatwa dengan rukhsah kepada orang yang dia senangi dan berfatwa yang menyulitkan kepada yang dia tidak
KAIDAH FIQHIYAH TENTANG IT’SAR
            Secara bahasa itsar berarti mementingkan orang lain lebih dari diri sendiri. Dari segi fitrah setiap manusia yang masih terjaga fitrah kemanusiaannya juga dapat berbuat mulia, mementingkan orang lain dan bukan diri sendiri serta menolong orang lain tanpa memikirkan diri sendiri. Di Inggris pernah terjadi kasus penyelamatan seorang anak yang jatuh di rel kereta api oleh seorang laki-laki. Alhamdulillah anak itu bisa diselamatkan, namun sebelah tangan laki-laki itu putus tersambar kereta api yang melaju kencang. Mungkin seumur hidupnya anak tersebut takkan bisa melupakan jasa seseorang yang rela mengorbankan sebelah tangannya untuk menyelamatkan nyawanya.
Dari segi istilah, itsar adalah salah satu manfaat diniyah (manfaat keagamaan) yang terwujud bila terjalin ukhuwah di antara orang-orang yang seaqidah. Ia juga dikatakan wujud maksimal ukhuwah Islamiyah yang dimiliki seseorang. Dalam rangka menggapai mardhatillah semata, seorang muslim bersedia berkorban mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya sendiri.
Urgensi dan keutamaan Itsar
Kehidupan di dunia yang jauh dari sifat-sifat mulia akan dipenuhi keserakahan dan keegoisan . Semuanya mementingkan diri dan keluarganya saja termasuk para pemimpinnya yang mengidap penyakit kronis berupa KKN. Kehidupan yang individualistis (nafsi-nafsi) egoistis (mementingkan diri sendiri) dan apatis (masa bodoh terhadap orang lain) adalah cerminan masyarakat yang tidak menegakkan ukhuwah Islamiyah.
Contohnya kehidupan di masyarakat metropolis atau kosmopolis ada seorang tunawisma yang meninggal di dekat tempat sampah lalu di bawa ke RSCM, akhirnya dikuburkan tanpa kehadiran sanak saudaranya. Atau orang-orang tua yang ditaruh di panti-panti jompo. Jarang dijenguk dan menjalani proses sakaratul maut sendirian tanpa didampingi atau ditalkinkan anak-cucu. Benar-benar mengenaskan. Sulit kita membayangkan keridhaan dan keberkahan Allah Taala akan tercurah kepada masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kebaikan tersebut.
Rasulullah mengatakan bukan dari golongan kami orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Begitu pula di hadits lain “Bukan golongan kami orang yang tidak peduli pada urusan orang Islam
Jadi sifat itsar sangat penting untuk memerangi sifat-sifat buruk seperti egois, kikir, individualistis serta menumbuhsuburkan sifat-sifat mulia seperti peduli, empati, pemurah dll. Keutamaan orang yang berbuat itsar di dunia ia akan dicintai oleh orang-orang yang pernah merasakan kebaikannya dan mempererat ukhuwah serta di akhirat nanti akan mendapatkan mimbar terbuat dari cahaya, naungan dan lindungan Allah Taala serta Al-Jannah (surga).
Dalam harakah dikenal paduan antara iltizam yang sempurna dan ukhuwah Islamiyah. Bila yang ada hanya disiplin yang sempurna ( iltizamul kamil ), maka suasana akan terasa kaku, kering, gersang seperti di markas militer. Sedangkan bila hanya sibuk dengan masalah ukhuwah tetapi mengabaikan iltizam, disiplin maka akan seperti sekumpulan orang tanpa arahan dan bimbingan.
Pribadi-pribadi muslim yang shalih/shalihah yang memiliki iltizam yang baik namun tetap diwarnai ukhuwah, bila bersatu padu dan bekerja sama akan seperti bangunan yang kokoh.
1.     Ukhuwah Islamiyah dapat sekaligus memberi manfaat duniawiyah, diniyah, dan ukhrawiyah
a)      Ditilik dari manfaat duniawiyah, ukhuwah Islamiyah dapat membuat seorang muslim dapat terkena imbas manfaat rizki dan kedudukan yang dimiliki saudaranya sepanjang tidak melenceng dari jalur kebenaran. Sikap seorang muslim yang baik, ia tidak akan pernah iri ataupun hasad terhadap kelebihan-kelebihan rezeki, kedudukan, keilmuwan dll yang dimiliki saudaranya. Bahkan seharusnya ia ikut merasa bersyukur karena ia pun dapat terkena efek positif dengan segala kelebihan yang dimiliki saudaranya. Kalau perlu dan mampu sebaiknya bahkan ia turut berpacu dalam kebaikan agar bermanfaat bagi orang lain.
Imbas manfaat memang tidak boleh menjadi tujuan utama dalam menjalin ukhuwah, tetapi sekedar efek samping yang harus disyukuri. Misalnya punya teman, saudara seaqidah yang pandai dalam bidang matematika kita bisa belajar darinya. Atau punya teman dokter, maka ia bisa menjadi konsultan kesehatan bagi kita, kapan saja kita butuh pertolongan medis, ia siap sedia menolong kita.
      Manfaat duniawiyah yang kedua adalah kita akan memiliki soliditas dan kekompakan dalam hal kemaslahatan atau kebaikan. Kita akan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa serta saling bercermin karena Rasulullah SAW. Juga besabda sesungguhnya, mukmin cermin bagi saudaranya yang lain kemudian Umar ra pernah mengatakan pula bahwa kalau bukan karena tiga hal, niscaya ia tidak akan betah hidup di dunia. Ketiga hal tersebut ialah:
Ø  Memiliki kuda perang terbaik yang digunakan untuk berperang di jalan Allah Taala.
Ø  Bersusah payah di waktu malam (qiamul lail)
Ø  Bergaul dengan orang-orang yang sidiq (benar dalam sikap, lisan, dan perbuatannya).
b) . Ditilik dari manfaat diniyah (dari segi agama) paling tidak ada lima hal yang dapat diperoleh seseorang bila ia senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyah.
1.    Saling mencintai di jalan Allah Taala. Orang yang saling mencintai di jalan Allah Taala akan dapat merasakan manisnya iman, memperoleh naungan di hari kiamat (hadits 7 golongan, di antara orang-orang yang saling mencintai karena Allah Taala, menjadi sebaik-baiknya sahabat di sisi Allah Taala dan akhirnya akan memperoleh mimbar dari cahaya di hari kiamat)
2.    Tolong-menolong dalam ketaatan. Orang-orang yang berukhuwah akan selalu siap tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah Taala dan Rasul-Nya. Di jaman Rasulullah hal itu jelas terlihat seperti menolong biaya orang yang akan menikah, sesama muslimah meminjamkan pakaian bagus agar saudarinya juga bisa hadir di shalat Idul Fitri atau Idul Adha, meminjamkan uang tanpa bunga. Jadi bukan menolong orang karena ada maksud-maksud tertentu atau ingin meraih keuntungan yang lebih besar.
3.    Mensucikan, mengagungkan Al haqq atau kebenaran. Dalam QS 103:3 disebutkan bahwa hendaknya kita saling tolong-menolong mengingatkan untuk menepati kebenaran dan untuk bersabar. Orang yang berukhuwah akan bahu membahu menegakkan kebenaran. Persahabatan mereka tulus karena sama-sama mencintai kebenaran.
4.    Persamaan dan kesejajaran, Firman Allah Taala QS 49:13 “Inna akramakum ‘indallahu atqaakum” benar-benar diwujudkan oleh orang-orang yang berukhuwah. Mereka benar-benar sadar dan merasa bahwa manusia sama, sejajar, setara di hadapan Allah Taala. Yang membuat seseorang lebih tinggi derajatnya di hadapan Allah Taala adalah jika kadar ketakwaannya lebih tinggi. Dalam hadits di tegaskan bahwa Allah Taala tidak melihat perbedaan fisik atau atribut-atribut duniawi melainkan langsung ke dalam hati manusia. Karena itu dalam Islam baik Abu Bakar yang bangsawan Arab berkulit putih maupun Bilal bekas budak berkulit hitam, kedua-duanya merupakan sahabat-sahabat yang wajib kita hormati dan kita teladani. Dan kedua-duanya sudah diketahui akan masuk surga, padahal mereka masih hidup saat itu.
5.    Saling menghormati. Sesama muslim yang berukhuwah akan saling menghormati satu sama lain. Mereka juga saling berlomba memberi salam lebih dulu. Dalam hadits dikatakan Rasulullah saw., “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang-orang yang lebih tua dan menyayangi orang-orang yang lebih muda”
6.    Itsar: Mementingkan saudara seaqidahnya lebih dari dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa itsar adalah puncak ukhuwah Islamiyah. Bila bentuk minimal ukhuwah adalah “Salamatus Shodr”, kelapangan dada terhadap saudara seiman maka Itsar adalah bentuk maksimal ukhuwah itu sendiri.
            c). Akhirnya manfaat tertinggi dan hakiki adalah manfaat ukhrawi yakni balasan optimal yang akan di peroleh di akhirat kelak. Ribathul Ukhuwah (ikatan ukhuwah) dan Ribathul Jamaah (ikatan jamaah) yang terjalin kuat di dunia insya Allah akan berlanjut di akhirat nanti.

Yang jelas tiga hal akan diterima orang-orang yang senantiasa menghidupkan ukhuwah, yakni:
1.      Mendapat mimbar dari cahaya pada saat menunggu dihisab.
2.      Mendapat pertolongan atau naungan Allah Taala di hari dimana tak ada pertolongan selain pertolongan-Nya.
3.      Mendapat Al-Jannah (surga)







[1] Tengku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, pengantar ilmu fiqhi, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putri, cet : 1, H.20.
[2] Amir Syarifudin, ushul fiqhi jilid 2. Jakarta : logos wacana ilmu. 2001. H.365-368.
[3] Hamzah Yakub, pengantar ilmu syariah, ( hukum islam ). Bandung : Diponegoro. 1995. H.22-23.
[4] Amir Syarifudin, ushul fiqhi jilid 1. Jakarta : logos wacana ilmu. 1997. H.320.

0 comments:

  © lib.stainmanado is copyright to Djunaidi Lababa 2011

Kembali ke ATAS